Monday, November 2, 2009

Pasar Terpengaruh Kisruh KPK

Senin, 2 November 2009 | 05:38 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com-Kasus Bank Century dan upaya pelemahan Komisi
Pemberantasan Korupsi diindikasikan telah memengaruhi pasar uang dalam
negeri. Indonesia semakin dicirikan sebagai negara yang menjadi surga
bagi permainan uang panas.

"Kasus Bank Century dan pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
menunjukkan tak adanya kepastian hukum. Akibatnya, investor semakin
berani bermain uang panas di pasar modal Indonesia," kata Yanuar Rizky,
pengamat pasar modal, di Jakarta, Minggu (1/11).

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Profesional Madani Ismed Hasan
Putro di Jakarta mengatakan, penahanan Bibit Rianto dan Chandra M Hamzah
secara sewenang-wenang oleh polisi tidak hanya melukai rasa keadilan
masyarakat, tetapi secara nyata telah pula berdampak pada memburuknya
iklim investasi Indonesia.

"Saya mendapat telepon dari beberapa investor di luar negeri yang
mempertanyakan langkah arogan polisi. Mereka berniat menarik atau
membatalkan investasinya karena khawatir zaman Orde Baru yang sewenang-
wenang terhadap hukum akan terulang kembali," kata Ismed.

Uang panas

Yanuar mengatakan, indikasi menguatkan permainan uang panas itu terlihat
dari terus bertambahnya kerentanan (volatilitas) kurs dalam indikator
pasar uang dalam beberapa bulan terakhir. "Harga saham juga dimainkan
lebih dalam untuk mendapat selisih kurs (untuk sedot devisa) lebih
tinggi," katanya.

Permainan saham ini, menurut Yanuar, sebenarnya bisa dipidanakan. Namun,
di negara yang tanpa konsistensi hukum melawan korupsi, hal ini tak
pernah disentuh.

"Bahkan, Century yang jelas pemain hot money hanya dihukum ringan dan
penanganan hukumnya dilindungi bail out pemerintah. Hot money adalah
deal panas koruptor dengan kekuasaan melalui mekanisme pasar," ujarnya.

Ketidakpastian hukum ini, menurut Yanuar, sangat diinginkan oleh pemain
yang ingin mengambil untung dengan memainkan uang panas. "Di sisi lain,
orang semakin malas investasi ke sektor riil. Biaya bunga juga terus
membesar karena bank tergoda menanamkan uangnya di pasar kurs," lanjutnya.

Kondisi ini, ujar Yanuar, bisa dilihat dengan membandingkan saat
penurunan bunga acuan Bank Indonesia (BI) Rate 2006 dengan saat ini.

"Pada tahun 2009 BI Rate elastisitasnya ke penurunan bunga kredit dan
alokasi kredit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2006 (BI Rate 12,5
persen). Itu juga ukuran, ke sektor riil, investor (bahkan bank kita
sendiri) semakin malas mengucurkan kredit dan asyik di hot money," katanya.

BI Rate kini berada pada 6,5 persen, sementara bunga kredit berkisar di
atas 15 persen.

Ismed menegaskan, jika situasi antara KPK dan polisi tersebut terus
bergulir dan dibiarkan saja oleh presiden, dampaknya akan sangat
membahayakan perekonomian Indonesia ke depan.

"Terbukti, Rembuk Nasional yang diharapkan sebagai langkah awal
pemerintah memacu perekonomian tidak mendapat respons memadai akibat
langkah blunder polisi," ujar Ismed berkaitan dengan Rembuk Nasional
pada 29-30 Oktober yang menyangkut langkah kebijakan ekonomi,
kesejahteraan, dan politik Indonesia lima tahun ke depan.

Menurut Ismed, investasi asing dan domestik yang sangat dibutuhkan
Indonesia diyakini tak akan terjadi karena semua investor akan wait and
see, menunggu langkah konkret presiden menangani arogansi polisi.
Padahal, pemerintah membutuhkan investasi untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi 7 persen guna bisa menekan angka pengangguran. (FAJ/AIK)

Editor: ono
Sumber : Kompas Cetak

No comments:

Post a Comment